Musik Warisan Sufi
(HADHRAH)
Musik Warisan Sufi
Hadhroh atau yang lebih populer dengan musik terbangan ( rebana bahasa jawa ) tak lepas dari sejarah perkembangan dakwah Islam Wali Songo Tak ada yang tahu kapan Hadhroh datang di bumi Nusantara ini. Namun Hadhroh atau yang lebih populer dengan musik terbangan (rebana bahasa jawa) tersebut tak lepas dari sejarah perkembangan dakwah Islam Wali Songo. Dari beberapa sumber menyebutkan bahwa adat kebiasaan pada setiap tahun, sesudah konprensi besar para wali, di serambi Masjid Demak diadakan perayaan Maulid Nabi yang diramaikan dengan rebana menurut irama seni arab. Penggunaan rebana tersebut diadopsi oleh Wali Songo dengan kebiasaan di daerah asal Wali Songo tersebut (Hadrolmaut) yang dijadikan media berdakwah.
Menurut keterangan dari ulama besar Palembang yaitu Al’Alimul ’Alamah Al’Arifbillah Al Habib Umar Bin Thoha Bin Shahab, adalah Al Imam Ahmad Al Muhajir (kakek dari Wali Songo kecuali sunan kalijogo), waktuhijrah ke Yaman (Hadrolmaut) maka beliau mendapati seorang Darwisy (pengikut thoriqot sufi ) yang sedang asyik memainkan Hadhroh (rebana) serta mengucapkan syair pujian kepada Alloh dan Rosul-Nya, sehingga bersahabatlah sang Imam dengan Darwisy tersebut ”. Sejak itu apabila Imam Muhajir mengadakan majelis maka disertakan darwisy tersebut, hingga sekarang keturunan dari Imam Muhajir tetap menggunakan Hadhroh disaat mengadakan suatu majelis.
Saat ini Hadhroh telah berkembang dengan pesatnya sebagai musik pengiring Maulid Nabi SAW serta acara – acara keagamaan lainnya seperti haul, isro mi’roj dan sebagainya. Dan kini banyak bermunculan grup-grup Hadhroh.
Makna Hadhroh dari segi bahasa diambil dari kalimat bahasa Arab yakni hadhoro atau yuhdhiru atau hadhron atau hadhrotan yang berarti kehadiran.
Tetapi di dalam istilah kebanyakan, Hadhroh diartikan sebagai irama yang dihasilkan oleh bunyi rebana. Dari segi istilah atau definisi, Hadhroh menurut tasawuf adalah suatu metode yang bermanfaat untuk membuka jalan masuk ke ‘hati’, karena orang yang melakukan hadhrah dengan benar terangkat kesadarannya akan kehadiran Allah yang senantiasa hadir.
Pada asalnya Hadhroh ini merupakan kegiatan para sufi yang biasanya melibatkan seruan atas sifat – sifat Allah yang Maha Hidup (Al-Hayyu), dapat dilakukan sambil berdiri, berirama dan bergoyang dalam kelompok- kelompok.
Sebagian kelompok berdiri melingkar, sebagian berdiri dalam barisan, dan sebagian duduk berbaris atau melingkar, pria di satu kelompok, dan wanita di kelompok lain yang terpisah. Kebanyakan tarekat sufi mempraktikkan dzikrullah dengan berirama atau menyanyi, dengan sekali-sekali menggunakan instrumen musik, terutama genderang.
Musik telah memasuki praktik tarekat sufi secara sangat terbatas, dan sering untuk jangka waktu sementara di bawah tuntunan seorang syekh sufi. Di anak-benua India, kaum sufi mendapatkan bahwa orang Hindu sangat menyukai musik, sehingga mereka pun menggunakan musik untuk membawa mereka ke jalan kesadaran-diri, dzikrullah dan kebebasan yang menggembirakan.
Maka walaupun peralatan musik digunakan untuk maksud dan tujuan itu, namun pada umumnya mereka dianggap sebagai penghalang yang tak perlu. Kebanyakan bait- bait yang dinyanyikan adalah mengenai jalan rohani dan tak ada hubungannya dengan nyanyian biasa. Sering merupakan gambaran tentang bagaimana membebaskan diri dari belenggunya diri dan bagaimana agar terbangun. Jadi, nyanyian dan tarian sufi merupakan bagian dari praktik menumpahkan kecemasan duniawi dan menimbulkan kepekaan dalam diri dengan cara sama (mendengar).
Dalam konteks sufi, segala sesuatu yang berhubungan dengan musik atau nyanyian dimaksudkan untuk peningkatan rohani dan penyucian-diri. Musik tidak dilakukan demi hiburan sebagaimana musik biasa yang ritmis dan menggairahkan secara fisik. Tarian itu adalah untuk Allah, bukan untuk orang lain.
Musik adalah alat, dan bila dipegang oleh orang yang tahu bagaimana menggunakannya, akan bermanfaat untuk tujuan yang diniatkan. Sebaliknya ia bisa lepas kendali dan menyebabkan kerusakan. Kesimpulannya hadhroh itu merupakan kegiatan atau praktik membuka jalan masuknya hidayah Allah ke dalam hati dengan jalan mandengarkan syair – syair religius atau keagamaan dengan diiringi alunan irama – irama yang di hasilkan oleh instrumen alat-alat musik terutama rebana.
Hadhroh dan Syariat Islam.
Hadroh di dalam pandangan syariat agama masih menjadi perdebatan. Tak sedikit yang mendiskriditkan atau memojokkan hadhroh sebagai suatu hal yang diharamkan sehingga orang yang melakukannya dianggap melakukan kemusyrikan. Namun sebagian besar mengatakan bahwa musik ini tidak menyimpang dari syariat.
Hadits dari A'isyah ra menyebutkan’ Suatu ketika Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam masuk ke bilik 'Aisyah, sedang di sisinya ada dua orang hamba sahaya wanita yang masing-masing memukul rebana (dalam riwayat lain ia berkata: ... dan di sisi saya terdapat dua orang hamba sahaya yang sedang menyanyi), lalu Abu Bakar mencegah keduanya. Tetapi Rasulullah malah bersabda, “Biarkanlah mereka karena sesungguhnya masing-masing kaum memiliki hari raya, sedangkan hari raya kita adalah pada hari ini. (HR. Bukhari).
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “ Pembeda antara yang halal dengan yang haram adalah memukul rebana dan suara(lagu) pada saat pernikahan.” (Hadits shahih riwayat Ahmad).
Adapun pernikahan, disyariatkan di dalamnya untuk membunyikan alat musik rebana disertai nyanyian yang biasa dinyanyikan untuk mengumumkan suatu pernikahan, yang di dalamnya tidak ada seruan maupun pujian untuk sesuatu yang diharamkan. Khusus bagi kaum wanita untuk mengumumkan pernikahan agar dapat dibedakan dengan perbuatan zina, sebagaimana yang dibenarkan dalam hadits shahih Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Namun genderang dilarang membunyikannya dalam sebuah pernikahan, cukup dengan memukul rebana saja.
Selain rebana, ulama berbeda pendapat.
Tapi ada beberapa ahli hadits yang memandang hadits-hadits itu shahih. Seperti Ibnu Shalah dalam Muqaddimah ‘Ulumul Hadits, An-Nawawi dalam Al-Irsyad, Ibnu Katsir dalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Ibnu Hajar dalam Taghliqul Ta’liq, As-Sakhawy dalam Fathul Mughits, Ash-Shan’ani dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul Afkar, juga Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayim dan masih banyak lagi. Tetapi Al-Albani lebih setuju pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhallamunqathi’ (terputus sanadnya) (Nashiruddin al-Albani, Dha’if al-Adab al-Mufrad, hal. 14-16).Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla (VI/59) berkata : “Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.” (Al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 57).
Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum asalnya, sesuai kaidah fiqih : Al-ashlu fi al-asy-yaa` al-ibahah maa lam yarid dalilu at-tahrim [Hukum asal benda adalah boleh selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya].
Maka jika ada dalil syar'i tertentu yang mengharamkan, pada saat itu suatu alat musik hukumnya haram dimainkan. Misalnya :
(1). Jika suatu alat musik diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya kewajiban, hukumnya haram. Sebab kaidah fiqih menetapkan : al-wasilah ila al-haram haram [Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga]. Misalnya saja alat musik yang dimainkan mengakibatkan ikhtilath (campur baur pria wanita) atau dilalaikannya shalat wajib.
(2). Jika suatu alat musik digunakan untuk mengiringi lagu yang syairnya bertentangan dengan Islam, hukumnya haram. Karena itu syair yang dinyanyikan wajib syair Islami atau yang dibolehkan Islam. Jika suatu alat musik digunakan mengiringi lagu yang syairnya tidak dibolehkan Islam, misalnya menyerukan nasionalisme, hukumnya haram.
(3) Jika suatu alat musik digunakan secara khusus oleh orang kafir dalam upacara keagamaan mereka, hukumnya haram. Sebab haram hukumnya muslim menyerupai orang kafir (tasyabbuh bil-kuffar), sesuai hadits Nabi SAW, "Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk ke dalam golongan mereka." (HR. Abu Dawud).
Pendapat Ulama
Ulama-ulama Islam masa kini tidak ketinggalan menyumbangkan pandangan-pandangan mereka terhadap hukum musik. Dan mereka terbagi kepada dua golongan, yaitu golongan yang mewajibkan dan golongan yang mengharamkan. Mereka yang mengharamkan berpegang kepada nash-nash Al-Quran dan sunnah serta ‘illah yang disebut oleh ulama-ulama terdahulu. Cuma ada juga khilaf di kalangan mereka tentang alat-alat yang diharuskan.
Pendapat pertama menyatakan bahwa duf hanya boleh digunakan di dalam upacara-upacara perkahwinan, hari raya, dan suasana-suasana kegembiraan seperti berkhitan. Hanya kaum perempuan saja yang dibenarkan memukul duf. Pendapat ini dikemukakan Syeikh Abdul Aziz bin Baz, Syeikh Saleh Fauzan, Syeikh Muhammad bin Saleh Al-‘Usaimin dan Syeikh Nasiruddin Al-Albani. Mereka bersandarkan kepada mazhab Hanbali.
Pendapat kedua, duf boleh digunakan dalam semua keadaan dan boleh dipukul oleh kaum lelaki dan wanita.
Seterusnya ada ulama-ulama yang mengharuskan penggunaan seluruh alat muzik tanpa ada pengecualian, tetapi mereka meletakkan syarat-syarat dan batas-batas penggunaan alat tersebut agar tidak bertentangan dengan hukum Allah SWT. Mereka yang berpendapat demikian antara lain:
1. Dr. Yusuf Al-Qardhawi di dalam kitabnya Malamih Al-Mujtama’ Al-Muslim.
2. Dr Abdul Karim Zaidan dalam bukunya Al-Mufassal fi Ahkam Al-Mar’ah wa Baitil Muslim juzuk 4 bab 8 iaitu Babul Lahwi wal La’ab.
3. Dr Mohammad Imarah di dalam bukunya Al-Islam wal Funun Al-Jamilah.
4. Dr Kaukab ‘Amir dalam bukunya As-Simaa’ ‘Inda As-Sufiyyah.
Pendapat mereka sama dengan pandangan beberapa ulama terdahulu seperti Ibnu Hazm Al-Andalusi, Ibn Tahir Al-Qaisarani, Abdul Ghani An-Nablusi, Al-Kamal Jaafar Al-Idfawi Asy-Syafie dan Al-Imam Mohd. Asy-Syazili At-Tunisi.
Sebagian dari mereka seperti Al-Qardhawi berpendapat demikian kerana hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik ada sahih ghair sarih (sahih tetapi tidak nyata) ataupun sarih ghair sahih (nyata tetapi tidak sahih). Nash-nash tersebut tidak mampu untuk memutuskan hukum karena hukum harus diputuskan dengan nash yang sahih wa sarih (sahih dan nyata).
Sebahagian yang lain seperti Dr. Abdul Karim Zaidan dan Dr. Kaukab mempunyai pandangan yang sama dengan Al-Ghazali. Mereka menyatakan pengharaman alat-alat yang disebut di dalam nash-nash hadits karena merupakan syiar ahli fasiq dan maksiat. Pada pandangan mereka musik tidak haram dari sudut irama atau bunyinya. Tetapi yang menjadikan haram ialah unsur-unsur eksternal yang lain yaitu alat yang biasa digunakan di dalam majelis-majelis dan tujuan-tujuan yang bertentangan dengan batas syara’. Justru itu alat-alat tersebut tunduk kepada perubahan tempat dan masa. Penggunaan alat-alat ini juga seharusnya disesuaikan dengan lingkungan yang dibenarkan oleh syara’ yaitu:
Niat penggunaan alat-alat tersebut dan pendengar iramanya hendaklah betul berdasarkan kaidah Al-umur Bimaqasidiha.
Tujuan dan suasana digunakan alat-alat tersebut ialah tujuan dan suasana yang baik, mulia dan tidak bertentangan dengan batas-batas syara’.
Dr Kaukab ‘Amir menyatakan: “Pada hakikatnya majelis-majelis maksiat pada hari ini seperti klub-klub malam menggunakan seluruh alat musik yang ada sekarang. Majelis-majelis tersebut tidak lagi menggunakan alat-alat tertentu (seperti zaman dahulu) malah keseluruhan alat digunakan. Sebab itu tidak mungkin kita menghalalkan sebahagian alat (seperti duf dan gendang) dan mengharamkan sebagian yang lain. Bahkan diharuskan kepada individu muslim mendengar irama alat-alat tersebut tetapi harus sesuai dengan adab-adab Islam dan tidak mencoba meniru kelakuan dan perbuatan ahli-ahli fasiq dan maksiat.
Mengutip dari ucapan Imam Ghazali didalam kitab kimiyaayi sa’adat pada bab yang berjudul ‘pembahasan tentang mendengarkan musik (samaa’) dan penjelasan tentang apa yang dibolehkan dan apa yang dilarang. ‘Ketahuilah bahwa Tuhan, yang mahaagung, memiliki rahasia dalam hati manusia yang tersembunyi sebagaimana api dalam besi. Seperti rahasia api yang mewujud dan tampak ketika besi dipukul dengan batu, maka dengan mendengarkan musik yang menyenangkan dan harmonis menyebabkan esensi (hati) manusia bergerak serta mewujudkan sesuatu dalam diri tanpa disadarinya. Alasan untuk ini adalah adanya hubungan antara esensi hati (nurani) manusia dengan dunia transeden (alam arwah), yang disebut alam ruh (arwah). Dunia transeden adalah dunia kecantikan dan keindahan, sedangkan sumber kecantikan dan keindahan adalah keselarasan(tanaasub). Semua yang selaras mewujudkan keindahan didunia karena seluruh kecantikan, keindahan, dan keselarasan yang dapat diamati di dunia ini adalah pantulan kecantikan dan keindahan dunia tersebut (alam arwah). Karena itu, nyanyian yang menyenangkan dan harmonis mempunyai kemiripan tertentu dengan keajaiban dunia tersebut (alam arwah), dan kerenanya timbullah kesadaran dalam hati, dan juga gerakan (harakat) serta gairah, dan sangat mungkin diri manusia sendiri tidak mengetahuinya. Maka inilah kebenaran bagi hati manusia, yang sederhana, yang bebas dari berbagai cinta dan gairah yang dapat mempengaruhinya. Namun, apabila tidak bebas dari hal-hal itu, dan ia terisi sesuatu, maka sesuatu itu akan bergerak dan berpengaruh sebagaimana api yang kian berkobar. Mendengarkan musik (samaa’) penting bagi seseorang yang hatinya dikuasai oleh cinta kepada Tuhan, supaya api
Diperkenalkan Rumi
Hadhroh pertama kali diperkenalkan oleh seorang tokoh sufi yang hingga kini karya-karyanya banyak diperbincangkan pakar pakar dan sarjana- sarjana, baik dari timur maupun barat.
Tokoh sufi itu ialah Jalaluddin Rumi Muhammad bin Muhammad Al-Balkhi Al-Qunuwi. Ia kerap dipanggil sebagai Rumi, karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di
Jalaluddin dilahirkan
Saat usianya baru menginjak 5 tahun ia pernah diramal oleh Fariduddin Attar, salah satu tokoh sufi. Dalam ramalannya dia menyebutkan bila Rumi akan menjadi tokoh spiritual yang besar. Sejarah kemudian mencatat bahwa ramalan Fariduddin itu tidak meleset.
Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, Ayah dari Rumi adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Karena sangat berkharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama (raja ulama). Namun karena gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain, maka merekapun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Dan celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan
Rumi yang sejak kecil menimba ilmu agama kepada ayahnya juga belajar dan berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq At-Turmudzi, yang merupakan sahabat dan pengganti ayahnya dalam memimpin perguruan. Selain itu Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya tersebut. Ia baru kembali ke
Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di
Kesufian dan kepenyairannya dimulai saat ia berusia 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang mempunyai murid sebanyak 4.000 orang. Sebagaimana layaknya seorang ulama, ia juga memberi fatwa dan menjadi tumpuan ummat untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat ketika ia berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin/Syamsi Tabriz.
Suatu saat, ketika Rumi mengajar seperti biasanya, di hadapan khalayak dan banyak bertanya sesuatu kepadanya, tiba dia mendapati seorang lelaki asing, yakni Syamsi Tabriz yang ikut bertanya. Pertanyaannya adalah, Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?
Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi sangat terkesima lantaran sangat jitu dan tepat pada sasarannya. Akibatnya, ia tidak mampu menjawab.
Selanjutnya, Rumi pun berkenalan dengan
Celakanya, Rumi kemudian lalai dengan tugas mengajarnya sehingga banyak muridnya yang protes. Mereka menuduh orang asing itulah biang keladinya. Karena takut terjadi fitnah dan takut atas keselamatan dirinya,
Karena merasakan menemukan gurunya kembali, maka gairah Rumi bangkit kembali. Dan ia mulai mengajar lagi. Beberapa saat kemudian ia mengutus putranya, Sultan Walad untuk mencari Tabriz di Damaskus. Lewat putranya tadi, Rumi ingin menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf atas tindakan murid-muridnya itu dan menjamin keselamatan gurunya bila berkenan kembali ke
Walau Rumi ikut mencari hingga ke Damaskus, tetapi
Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syekh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, selama 15 tahun terakhir masa hidupnya menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi-i. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain.
Karya tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat baris dalam jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa, merupakan himpunan ceramahnya tentang tasawuf), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya). Bersama Syekh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan tarekat Maulawiyah atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (Para Darwisy yang Berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.
Diusia 68 tahun Rumi pada akhirnya wafat tepatnya Pada 5 Jumadil Akhir 672 H.
Sebelum meninggal ia mengalami sakit keras. Melihat kondisi Rumi, Penduduk Konya dilanda kecemasan. Meski demikian, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya.
Seorang sahabatnya yang datang menjenguk dan mendo’akannya, ‘Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan’. Rumi sempat menyahut, ‘Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga kafir dan pahit.’ Sebab akhirnya semua manusia akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desak ingin menyaksikan kepergian seseorang yang dihormati.
(M Ali Imron,WWW.MAJALAH DZIKIR.COM)